Pagi menjelang pukul 06.30, sekelompok orang berderet di depan sebuah toko kue kecil dekat perempatan Ciledug. Bagi yang belum tahu ciledug, monggo google-mapping. Sebagian besar orang yang berderet tadi adalah calon pembeli. Pembeli kue, dan itu berlangsung setiap pagi, sabtu minggu malah cenderung lebih ramai.
Beberapa menit kemudian toko dibuka dan pengantri tadi pun menyerbu, memesan bermacam kue - kue yang dijual di etalase. Ada 2,3,4 atau 6 pelayan yang semuanya wanita di dalamnya, langsung sibuk dan keringetan melayani serbuan pelanggan. Layaknya toko - toko lain, toko kue tadi digawangi seorang Ah - Tiong (Ket Tionghoa maksudnya). Selagi sibuk ikut melayani, sibuk juga berucap ke sana kemari setiap pembeli yang siap pergi menenteng seplastik kuenya. "Terima kasih ya, terima kasih" begitu ucapnya. Saya jadi ingat ucapan seorang sahabat, penjual macam Ah Tiong ini memang pandai memikat hati pembeli, paling tidak dengan selalu mengucapkan Kam Sia (Terima Kasih).
Oh ya, Istri saya, kebetulan penyuka salah satu menu kue di sana yaitu kue :ongol-ongol. Saya mesti bolak - balik selama 3 hari berturut - turut untuk mendapatkan kue ini, karena terlambat datang, padahal jam baru menunjukkan pukul 09.00. Hari ketiga saya datang tepat pukul 07.30 dan sayapun mendapatkannya.
Usut punya usut toko kue tadi, berada beberapa langkah dari sebuah SD Islami yang cukup favourite dan terkenal di wilayah ini. Nah, kesukaan istri saya kepada kue ongol-ongol tadi berlangsung sejak dia masih SD, di SD Islami tadi. Dengan asumsi usia istri saya 26, Artinya toko tersebut juga sudah berdiri hampir 20 tahunan dan tetap ramai!! Namun bukan hanya itu yang memancing saya menulis. Produk makanan menurut saya, adalah produk yang cukup sensitif dan berdurasi pendek. Ketiadaan Label halal saja, sebagai contoh, bisa menjadi testimoni negatif jika yang kita jual adalah makanan. Pemilik toko tersebut adalah keturunan Tionghoa yang, bagi pandangan beberapa orang terutama muslim, sensitif dengan isu halal-haram ini. Dan, mayoritas pembeli di toko itu, adalah muslim mayoritasnya, jika tidak dikatakan semua.
Selidik - punya selidik, setiap pagi, para pengantri yang menunggu buka ternyata bukan hanya para pembeli, tapi para supplier (Vendor bahasa kerennya), pembuat macam - macam kue yang menitipkan kue buatannya di sana. Para pembuat kue ini nampaknya diseleksi, karena suatu pagi saya mendapati Cici (Begitu pemilik toko ini dipanggil), sedang "menginterogasi" seorang supplier kue. Sekilas dari pembicaraannya bisa saya tangkap, pemilik toko meminta si pembuat kue memperbaiki kualitas kuenya karena penjualan kue buatannya kurang laku.
Sekarang sedikit saya tahu, kenapa Toko tersebut begitu popule dan laku. Pemilik toko memastikan bahwa apa yang dijualnya adalah "halal" meski tidak meletakkan tulisan halal pada dagangannya. Dia hanya menjadi trader dari sekian banyak pembuat kue yang sudah terseleksi rasanya, lalu menjualnya. Saya pun manggut - manggut dan bergumam, pantas toko ini tetap ajeg dan profit selama bertahun -tahun. Ah Tiong memang cerdik.... hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar