Kamis, 22 Desember 2011

1.200 Mahasiswa Nyatakan Komitmen Undip “Beli Indonesia”

Semarang, 12/06/2011. Kegelisahan tentang keadaan Indonesia hari ini sudah merambah kalangan mahasiswa. Kini, mahasiswa yang kerap menyebut dirinya sebagai agent of change dan social control merubah pola gerakan dari parliament on the street menjadi gerakan massif pembentukan karakter sosial. Gerakan parlemen jalanan di tahun 1998 yang dianggap mujarab untuk merubah arah perjalanan bangsa Indonesia sudah tidak efektif lagi untuk mencegah terjadinya abuse of power. Karena metode yang sama ternyata dilakukan semua komponen lapisan mulai dari buruh, petani, nelayan, pedagang hingga siswa SD. Maka sebagai kalangan terdidik mahasiswa harus tetap menjadi trend setter gerakan dan garda depan sebagai penjaga moral bangsa, seperti yang dilakukan oleh angkatan 1928 yang ditandai sumpah pemuda, angkatan 1945 dengan gerakan kermerdekaan, 1974 dikenal dengan Malari, 1966 peralihan Orla dan Orba , 1978 dengan NKK/BKK, dan angkatan 1998 dengan reformasinya.

Saat ini Indonesia berada dalam cengkraman Neokolonialisme yang menyebabkan bangsa ini kehilangan kedaulatannya. Lihat kekayaan alam kita berupa minyak bumi, gas, batu bara, emas, tembaga, nikel dan lain-lain yang terus terkuras setiap hari mulai dari Aceh hingga Papua. Laut kita menguap setiap tahun sebesar Rp. 50 triliyun karena illegal fishing nelayan-nelayan asing. Kehidupan kita, mulai dari tekstil, sabun, shampoo, pasta gigi, bahan-bahan makanan, buah-buahan, obat-obatan, teknologi hampir semuanya asing dan bukan milik Indonesia lagi. Dengan membanjirnya produk asing membuat kita kehilangan kehidupan karena pasar itu yang menentukan apa yang kita pakai dan kita konsumsi sehari-hari. Menguasai pasar dengan konsep bisnis hari ini mustahil dilakukan karena produsen asing memiliki uang dan produk yang kuat. Produk-produk baru yang diproduksi oleh anak-anak negeri terlindas dan dimatikan secara sistematis. Maka bertumbanganlah pengusaha-pengusaha Indonesia sebelum mereka tumbuh dan berkembang dan dengan sendirinya industri mati dengan membawa efek domino yang sangat panjang. Mulai dari PHK, para supplier yang ikut mati, pengangguran dimana-mana yang menyebabkan mereka pergi ke luar negeri menjadi TKI dan TKW. Penderitaan belum selesai karena diluar negeripun mereka mengalami berbagai siksaan bahkan tidak sedikit yang pulang dalam peti jenazah. Mengapa ini terjadi? karena kita sudah terjajah kehidupannya setelah pasar kita dikuasai orang lain.

Menyadari hal ini, Minggu siang, bertempat di gedung Prof. Sudarto, Undip, Tembalang, Semarang, 1.200 mahasiswa Universitas Diponegoro menyatakan komitmen untuk Beli Indonesia. Pernyataan komitmen ini ditandai dengan pembacaan statement bersama yang dipimpin oleh ketua BEM, Febri Taufiqurrahman, dan penandatangan komitmen pada selembar kain putih sepanjang 15 meter. Saat pembacaan statemen itu semua yang hadir membacakan sambil berdiri dengan jari telunjuk teracung sebagai simbol Beli Indonesia. Setelah itu secara berkelompok para mahasiswa naik ke atas panggung membubuhkan tandatangan pada selembar kain putih yang disiapkan panita diriingi dengan lagu-lagu perjuangan. Tri Yogi Sulistiani, ketua panitia acara ini menegaskan bahwa gerakan ini adalah gerakan moral untuk mengajak semua masyarakat Indonesia untuk ambil bagian dari dari gerakan ini. “Kita tidak ingin membiarkan keadaan ini terus terjadi dan kita berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Jika tidak sekarang kita berbuat akan banyak kesulitan-kesulitan yang terjadi ke depan,” katanya. Yogi menjelaskan bahwa acara ini sebagai bagian dari keterpanggilan mahasiswa terhadap persoalan bangsa hari ini. Banyak yang tidak tahu harus berbuat apa untuk memulai menyelesaikan masalah Indonesia saat ini. Maka Yogi menghimbau agar kampus-kampus lain di tanah air melakukan hal yang sama untuk mengembalikan kedaulatan negara ini dan menjadi bagian dari kejayaan Indonesia ke depan.

Presiden IIBF, Ir.H. Heppy Trenggono, MKom, yang berbicara dalam acara itu mengatakan bahwa Beli Indonesia adalah gerakan untuk mengajak semua rakyat Indonesia untuk membela bangsa sendiri. “Hari ini kita dihadapkan pada sebuah perang terbuka yang bernama pasar bebas. Padahal kita sangat tidak cukup kuat untuk menghadapi negara-negara besar seperti China yang unggul di setiap lini. Pasukan dan logistiknya kuat dengan pemimpin yang sangat menguasai taktik dan strategi. Dalam keadaan itu kita sok keren meladeni perang terbuka yang mereka tawarkan,” ungkap Heppy. Heppy menambahkan, jika kita kalah dalam jumlah pasukan, logistik dan lain-lain yang paling mungkin adalah perang gerilya. Tetapi karena ini sudah terlanjur perang terbuka dan sudah tidak bisa dihindari lagi maka kita terapkan Perang Semesta, yakni perang yang melibatkan semua komponen bangsa untuk ikut ambil bagian agar kita menang dalam peperangan ini.“Ibu-ibu, mahasiswa, ulama, birokrat dan lain-lain semua harus turun untuk membantu tentara dan pemimpin kita. Kalau tidak punya apa-apa ibu-ibu boleh bawa pentungan atau apa saja untuk menghalau musuh,” kata Heppy yang disambut tepuk tangan hadirin. Dalam bahasa bisnisnya, produsen luar boleh melakukan apapun atau promosi setinggi apapun untuk mempengaruhi rakyat kita agar membeli produknya. Tetapi keputusan ada di tangan kita akan membeli apa. “Nanti sepulang dari tempat ini sudah harus diperhatikan apa yang akan kita beli. Jangan mau gampangnya saja. Sebab jika selalu ingin gampang di depan biasanya kita akan sulit di belakang,” jelas Heppy.

Ada tiga jenis produk yang ada di pasar. 1. Produk A, yakni produk yang dibuat di Indonesia dan dimiliki oleh orang Indonesia. Ini namanya produk Indonesia. 2. Produk B, produk yang dibuat di Indonesia tetapi dimiliki oleh asing, ini namanya produk asing. 3. Produk C. Produk yang diimpor dari luar negeri. Apa yang harus kita lakukan terhadap produk-produk itu ketika akan membelinya. “Prirotas pertama adalah produk A. Prioritas kedua adalah produk A dan prioritas ketiga adalah produk A. Prioritas keempat baru produk B jika produk A benar-benar tidak ada. Prioritas kelima adalah produk C jika jika A dan B tidak ada,” kata Heppy. Mengapa begini? Karena yang ada terjadi di masyarakat Indonesia hari ini adalah sebaliknya. Produk C yang selalu dibeli dan produk A dilupakan. Padahal dengan membeli satu produk A sekecil apapun sudah banyak kebaikan yang ada di dalamnya. Kita sudah membela saudara sendiri yang membuat produk itu dan mengangkat perkeonomian negeri sendiri. “Produk asing artinya ekonomi asing dan produk Indonesia artinya ekonomi Indonesia,” jelas Heppy tegas.

Hasan Thoha,MBA, Owner dan CEO PT. Thoha Putra Semarang, pembicara kedua dalam acara itu menegaskan pentingnya mahasiswa menentukan pilihan ketika menjadi mahasiswa saat ini. Memilih menjadi entrepreneur adalah pilihan tepat karena Indonesia masih sangat banyak kekurangan pengusaha untuk mengangkat ekonomi Indonesia. “Secara teori , sebuah negara harus memiliki minimal 2 % entrepreneur untuk bisa menjadi negara maju. Semantara Indonesia baru 0,18% pengusahanya,” ungkap Hasan. Dan menjadi pengusaha itu harus berani memulai sejak sekarang. Memulai, lanjut Hasan, dari yang kecil agar kita bisa belajar dan menguasai bisnis itu. Banyak orang yang tidak mau memulai bisnis dengan alasan tidak memiliki modal. Padahal yang disebut modal itu tidak harus selalu uang. “Modal utama dalam bisnis itu adalah jujur dan amanah,” tegas Hasan. Uang yang banyak juga tidak akan kemana-mana bahkan bisa membuat masalah jika kita tidak jujur dan tidak amanah. Agar mudah menjalani bisnis pasar harus dikuasai dan jangan diserahkan kepada orang lain. Dan Beli Indonesia adalah sebuah gerakan untuk merebut kembali pasar Indonesia yang telah dikuasai asing. (AA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar