Kamis, 22 Desember 2011

Kaya itu adalah Sebuah Mentalitas

Jakarta, 28/07/2011. Miskin atau kaya itu bukanlah keadaan atau kondisi yang sudah given pada diri seseorang tetapi adalah mentalitas. Orang yang bermentalitas kaya tidak akan pernah meminta sedekah meskipun dia kekurangan. Sebaliknya orang yang bermental miskin senantiasa merasa kurang meskipun dia dalam keadaan berlimpah materi. Itulah poin yang disampaikan Presiden IIBF, Ir. H. Heppy Trenggono, MKom, ketika memberi motivasi kepada 257 orang pengusaha mikro, Kamis siang di Hotel Nikko, Jakarta. Acara yang bertajuk Dhuafa Bangkit itu diselenggarakan oleh Mizan Amanah, lembaga pengelola zakat yang salah satu programnya membangkitkan pengusaha dari kalangan tidak mampu. “Jangan pernah menyebut dari anda dhuafa’ karena kalau itu kata-kata itu menjadi identitas maka akan begitulah akhir hidup anda. Lagi pula mana ada dhuafa’ masuk ke hotel mewah seperti ini,” kata Heppy yang disambut tepuk tangan peserta.

Rosulullah SAW, adalah contoh pribadi kaya. Bagaimana dia selalu bersedekah dan membantu orang lain dalam keadaan apapun. Bahkan rela menahan laparnya demi memberi makan kepada orang lain. Orang kaya dan orang miskin itu menurut Heppy sebenarnya sama saja. Yang membedakannya adalah cara berfikir dan cara bermainnya saja. Soal hutang misalnya, orang kaya dan orang miskin sama-sama memiliki hutang. “Bedanya, orang kaya hutangnya banyak dan orang miskin hutangnya sedikit,” kata Heppy. Bedanya yang kedua, orang kaya berhutang untuk modal atau investasi sedangkan orang miskin berhutang untuk makan. Terhadap hutangnya itu, dan menjadi beda yang ketiga, orang kaya dapat membayar hutang-hutangnya sedangkan orang miskin tidak bisa melunasi hutang yang sedikit itu.

“Diilihat dari perspektif ini Indonesia lebih mirip ciri orang miskin apa ciri orang kaya kaya?” tanya Heppy. “Miskin…” jawab para peserta ini serentak. Maka, kata Heppy, hutang Rp. 1.700 Triliyun tidak lunas-lunas sejak jaman nenek moyang kita sampai hari ini karena jumlah itu banyak buat Indonesia. Padahal jumlah itu tidak ada apa-apanya untuk negara sebesar ini. Demikian juga APBN Rp. 1.200 trilyun itu habis untuk makan dan bayar hutang saja. “Karena begitulah cara bermainnya orang miskin,” ungkap Heppy. Untuk pembangunan tidak usah ditanya, pasti tidak ada uangnya karena kita bermain kecil dan takut dengan angka besar. Padahal untuk membangun negara sebesar ini perlu puluhan ribu triliyun, angka yang sama sekali tidak terbayang oleh orang miskin. Mengapa tidak terbayang? Karena tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Bagi orang kaya angka besar itu biasa-biasa dan sederhana saja karena mereka tahu cara mendapatkannya. Karena orang kaya adalah orang yang memiliki kecerdasan ekonomi. Cerdas ekonomi artinya piawai membangun dan mengelola kekayaan.

Dalam sesi tanya jawab seorang peserta yang mengaku bernama Hans asal Jakarta Selatan mengangkat tanga dan bertanya. “Pak Heppy, apa pendapat anda tentang modal? Dan mengapa anda tidak memberi modal untuk orang-orang seperti kami dalam membangun ekonomi ummat?” Menanggapi pertanyaan ini Heppy menjelaskan bahwa modal itu adalah hal yang penting dalam membangun bisnis tetapi bukan sesuatu yang paling penting. Modal juga tidak berarti selalu materi. “Modal adalah sesuatu yang digunakan untuk membuat bisnis kita matang. Jika bisnis itu masakan maka modal itu adalah api yang mematangkan masakan itu. Maka dia tidak termasuk dalam resep,” ungkap Heppy. Maka jika modal terlalu kecil maka masakan tidak matang, sebaliknya modal yang terlalu besar akan membuat bisnis terbakar. Menanggapi soal membangun ummat dengan modal, Heppy menegaskan harus dibedakan antara membangun dan sedekah. Di IIBF, kata Heppy sedekah menjadi bahasa sehari-hari seorang pengusaha dalam menjalankan bisnisnya. Mereka diajarkan untuk mengeluarkan minimal 10% dari keuntungan yang dialokasikan untuk sedekah. “Tetapi membangun adalah hal yang berbeda dengan giving atau sedekah,” jelas Heppy. Membangun atau membina seorang pengusaha, yang dibangun adalah kompentensi dan karakter seorang pebisnis. Salah satu karakter pengusaha adalah disiplin dalam memberi kepada yang membutuhkan bukan meminta-minta.

Heppy mengakhiri ceramahnya dengan permintaan kepada semua hadirin untuk tidak menyebut dirinya seorang dhua’afa, karena sebutan itu akan menjadi identitas yang akan menentukan apa dan bagaimana akhir dari kehidupan kita. “Dhu’afa itu harus kita rasakan ketika kita sedang berdo’a di hadapan Allah SWT, Zat Yang Maha Kaya. Tetapi di hadapan manusia kita harus menjadi orang kaya yang senantiasa memberi dan membantu orang lain,” kata Heppy. Orang yang dapat memberi dengan leluasa adalah orang yang memiliki kekayaan hati dan materi sekaligus. Materi berlimpah tetapi hati atau mental miskin, memberi akan menjadi sesuatu yang sangat berat. Apalagi jika tidak yakin dengan ayat-ayat dan janji-janji Allah. “Karenanya Allah SWT tidak mengukur kehidupan seorang hamba dengan kaya dan miskin tetapi dari lapang dan sempit,” ungkap Heppy mengakhiri . (AA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar