Kamis, 22 Desember 2011

Pedagang Kecil Itu Juga Investor

Solo, 24/06/2011. Ada kesalahan pemahaman umum yang terjadi di Indonesia saat ini terhadap pengertian investor. Investor itu selalu identik dengan asing. Kesalahan ini kemudian menjadi kesalahan lanjutan tentang investasi di Indonesia. Wilayah-wilayah yang seharusnya tidak boleh diberikan kepada asing justru hari ini telah dikuasai asing. “Tambang itu tidak boleh dimasuki asing, bank-bank tidak boleh asing. Tetapi hari ini 76% tambang di Indonesia sudah asing, 50,2% bank-bank nasional sudah dikuasai asing,” kata Joko Widodo, Walikota Solo di forum Kongres Kebangkitan Ekonomi Indonesia (KKEI), Solo, Jum’at petang.

Cara pandang seperti ini juga yang memunculkan sikap memusuhi pedagang kecil dan pedagang kaki lima karena dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Penggusuran pedagang kecil sering dilakukan di berbagai kota di Indonesia dan sudah menjadi hal biasa. “Tetapi sejak 6 tahun terakhir hal semacam itu tidak akan pernah terjadi di Solo,” ungkap Joko. Pedagang kecil dan pedagang kaki lima itu menurut Joko juga adalah investor yang harus diperlakukan sama dengan pelaku ekonomi besar. Maka ketika menjadi walikota Joko Wi langsung menolak permintaan Kepala Satpol PP untuk disediakan 600 pentungan dan 600 tameng. “Besok tameng dan pentungan yang masih ada masukkan ke dalam gudang dan kunci. Jangan pernah mengeluarkannya selama saya menjadi walikota,” katanya kepada Kepala Satpol PP itu.

Joko menceritakan, 6 tahun menjadi walikota dia sudah membangun 15 pasar dan memindahkan 23 lokasi pedagang kaki lima. Dia tetap berprinsip bahwa pedagang kaki lima itu adalah pelaku ekonomi yang memiliki dampak yang sangat besar terhadap perekeonomian daerah. Masalahnya, keberadaan mereka sering tidak diakui dan tidak diatur. Joko mengaku memang tidak menata pedagang kaki lima di kota Solo karena seringnya terjadi konflik antara pedagang dengan pemerintah kota. Ketika pertama kali menjadi walikota dan melihat kawasan kaki lima di Banjarsari, Joko sudah disambut dengan spanduk-spanduk yang bernada perlawanan. Joko kemudian mengundang 40 paguyuban pedagang kaki lima di Banjarsari untuk makan malam bersama. Suasana tegang masih sangat terasa karena para pedagang sudah ancang-ancang menyiapkan pertanyaan dan jawaban jika terjadi dialog. “Tapi setelah selesai makan saya tidak tanya apa-apa dan acara ditutup. Mereka bertanya kok enggak ada apa-apanya ini pak?” kisah Joko Wi. “Tidak, saya hanya mengundang makan saja,” kata Joko mengenang. Seminggu setelah itu diundang lagi makan siang ke kantor walikota dan mereka diperlakukan sama seperti para pengusaha besar. Tidak ada dialog, dan acara kembali ditutup begitu setelah makan selesai.

Setelah 53 kali diundang makan, para pedagang dikumpul semua. “Saya ingin memindahkan lokasi Banjarsari ke lokasi yang lebih baik,” kata Joko Wi. Para pedagnag itu diam dan tidak memberi reaksi apa-apa. Joko sebenarnya hanya ingin mengetahui apa yang mereka rasakan, mereka takutkan dan apa yang mereka inginkan. Pedagang minta jalan diperlebar dan 9 trayek angkutan kota harus melalui kawasan yang baru. “Mereka itu khawatir jika tidak ada pembeli dan dagangannya sepi,” ungkap Joko. Maka kepada para pedagang, Joko mengatakan akan mengiklankan di TV lokal selama 4 bulan, iklan koran selama 4 bulan dan pemasangan spanduk dan baliho selama 4 bulan. Akhirnya pedagang menerima dan bersedia pindah dengan merobohkan sendiri tenda dan lapak-lapaknya. “Saat pindah mereka diarak dengan kereta kuda dan dibuat seperti arak-arakan festival. Saya kira tidak ada pemindahan kaki lima seperti di Solo ini,” kata Joko bangga. Pedagang yang menempati kios-kios itu diberikan secara gratis dan hanya dikenakan membayar restribusi Rp. 2.500 per hari.

Mengapa pedagang kaki lima itu selalu mengambil tempat public? Menurut Joko, selama ini mereka tidak pernah diberi tempat yang layak untuk berdagang. Dan selama ini para pedagang tidak pernah ditunjukkan apa yang benar. Di tangan seorang Joko Wi, pedagang kaki lima tidak hanya ditempatkan di tempat yang layak tetapi juga diberikan pelatihan kewirausahaan, bagaimana mengelola keuangan, menyusun laporan, dan mengelola usahanya. Joko membatasi berdirinya mal-mal dan super market di kota Solo. “Jika pasar-pasar tradisional dibunuh dan diganti dengan mal-mal besar millik para pemodal besar, lantas pembangunan ini untuk siapa?” kata Joko dengan nada tanya.

Pasar dan terminal yang sering dianggap sebagai tempat yang kumuh dan rawan dengan premanisme, di tangan seorang Joko Wi menjadi lebih ramah dan bersahabat. Untuk tujuan itu, Joko Wi kemudian mengganti Kepala Satpol PP dan kepala terminal kota Solo dengan petugas perempuan. Joko mengatakan tidak ingin membuat Solo seperti Jakarta. Jakarta yang pernah memiliki 84 pasar tradisional hari ini tinggal 23 unit saja. Yang lainnya sudah berubah menjadi mal-mal, tempat yang membuat warga hidup sangat konsumtif dan juga tidak ramah dengan para pengusah kecil dan menengah. (AA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar