Kamis, 22 Desember 2011

Keluar dari Kemelut

Biasanya, di tengah perayaan kemerdekaan bulan Agustus timbul pertanyaan yang selalu diulang: benarkah kita merdeka? Pertanyaan itu, tentu saja, retoris. Tapi pertanyaan itu penting kita ajukan demi menguji seberapa jujur kita menanggapi keadaan bangsa ini yang sebenarnya. Pasalnya, setelah 64 tahun merdeka bangsa ini masih tertatih-tatih mengejar ketinggalan. Dan itu dipicu oleh pemerintah yang hingga saat ini belum juga memenuhi sejumlah hak-hak mendasar warganya seperti pendidikan murah dan pemerataan ekonomi masyarakat. Padahal, kita memiliki sumber daya alam yang sangat potensial untuk menjadi modal agar bangsa ini maju.

Tak ada yang tak ingin menjadi bangsa maju. Tapi kenapa ada negara yang luasnya tak seberapa seperti Belanda dan tak memiliki sumber daya alam bisa maju sementara Indonesia yang luas dan memiliki sumber daya alam melimpah masih tertatih-tatih? Hal ini membuat pengusaha muda seperti Heppy Trenggono kaget sekaligus kecewa.

Ia tak habis pikir, Indonesia pernah ditaklukkan oleh Belanda yang negaranya lebih kecil dari Indonesia. Selama lebih dari 350 tahun pula. Meski kecewa, ia tak lantas mengeluarkan sumpah serapah atau aksi mengutuk Belanda. Ia justru menawarkan jalan keluar. Setelah lama menimbang kelebihan dan kekurangan negeri ini, ia pun menuliskan tawarannya itu dalam buku Menjadi Bangsa Pintar.

Menurut Presiden Direktur United Balimuda itu, kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh mentalitasnya, cara berpikirnya. Indonesia, katanya dengan optimis, sangat bisa dan mampu berjaya kembali. Karena dalam sejarahnya Indonesia memang memiliki trah sebagai bangsa pintar dan pernah jaya. Banyak kisah menggetarkan yang lahir dari bangsa ini. Simak saja Kerajaan Majapahit. Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, kekuasaan Majapahit melebar ke negeri jiran seperti Tumapel (sekarang Brunei Darussalam). Itu dari sejarah Nusantara, sedangkan dari masa kemerdekaan kita melihat mentalitas itu dari sosok Soekarno dan Sjahrir.

Pada 1955, Soekarno memprakarsai Konferensi Asia-Afrika di Bandung; Sjahrir berjuang melalui diplomasi di luar negeri dan pernah memukau anggota PBB ketika ia mempromosikan kemerdekaan Indonesia. Mereka memiliki mentalitas maju, mentalitas sebagai bangsa unggul. Mereka berdua tidak ingin bangsa Indonesia terus-menerus berada dalam cengkeraman kaum kolonialis. Indonesia harus merdeka. Tapi sayang, mentalitas itu tidak dimiliki para pemimpin setelahnya. Oleh karena itu, bangsa ini terus-menerus terpuruk ke dalam jurang krisis.

Penyebab utama krisis itu adalah karena sebagian besar kita, terutama elite politik, mengidap mental indolance, yaitu kondisi mentalitas bangsa yang berfikir dan bersikap atas sesuatu masalah dengan cara meniru pada kebiasaan-kebiasaan sebagaimana yang dilihat, dan akhirnya membentuk pola pikir. Karena korupsi sudah sistematis, maka banyak orang menganggap korupsi adalah hal yang wajar. Inilah yang disebut mental indolance.

Untuk menghidupkan kembali kejayaan bangsa ini sebenarnya mudah saja. Syaratnya, kita harus mengelola segala yang kita miliki dengan baik, entah itu sumber daya alam atau sumber daya manusia. Namun, mula pertama kita harus mengubah mentalitas, cara berpikir kita. Untuk bisa memajukan bangsa ini, kita harus mengubah cara pandang agar menjadi bangsa pintar.

Dalam buku ini, Heppy Trenggono memaparkan sejumlah cara pandang agar kita menjadi bangsa maju. Misalnya, kita harus meyakinkan diri bahwa kita adalah bangsa yang menjadi pemain, bukan penonton. Bahwa hidup adalah permainan, banyak sudah orang mengamininya. Tapi satu hal yang alpa, bahwa konsep itu mengandaikan adanya penonton. Tak mungkin ada permainan tanpa ada penonton. Dalam hal ini, di antara kedua posisi itu tentu pemainlah yang memegang peran utama. Pasalnya, ia yang menentukan permainan. Apakah hendak dibuat indah, mencengangkan, ataupun menegangkan. Sementara penonton tidak lebih dari sekedar berkomentar.

Dalam hal ini, kita patut acungkan jempol kepada presiden pertama kita, Soekarno, atau perdana menteri pertama, Sjahrir, yang telah berjasa mengharumkan Indonesia ke dalam percaturan internasional. Mereka berdua adalah sosok pemimpin yang memiliki mentalitas maju, yang ingin menjadi pemain dan tidak hanya menonton.

Selain itu, kita juga harus memantapkan jalan kita saat ini sebagai bangsa penjual bukan pembeli. Pemerintah harus mulai memikirkan pengelolaan sumber daya alam oleh bangsa sendiri untuk dijual ke pasar luar negeri sebagai barang jadi, dan bukan sebaliknya menjual bahan mentah (barang modal) lalu membeli barang jadi. Bukankah aneh, di satu sisi bumi Indonesia adalah ladang minyak, tapi di sisi lain Indonesia adalah pengimpor minya terbesar di dunia. Kondisi ini ironis, sebab minyak yang kita beli itu sebagian berasal dari perut bumi kita sendiri.

Kehadiran buku ini kian menambah ragam solusi bagi bangsa ini untuk keluar dari kemelut. Kelebihannya, buku ini menawarkan solusi sederhana, dan karena itu sangat mudah untuk dipraktikkan. Inilah yang membedakan buku ini dari buku-buku mengenai kebangsaan dan keindonesiaan lainnya yang rata-rata merupakan buku “serius”. Karena disajikan secara ringan disertai nuansa reflektif, buku ini bisa dinikmati dengan santai tanpa perlu “memeras” otak. Tetapi sayang, kenikmatan membaca akan sedikit terganggu akibat penyuntingan naskah yang kurang ketat hingga di sana-sini terdapat banyak kesalahan ketik.

_________________________________

Data Buku
Judul : Menjadi Bangsa Pintar
Penulis : Heppy Trenggono
Editor : Arif Ma’ruf Suha, dkk.
Penerbit : Penerbit Republika
Cetakan : I, Juli 2009
Ukuran : 20,5 x 13,5 cm
Tebal : vi + 164 halaman
ISBN : 9789791102605

Tidak ada komentar:

Posting Komentar