Kamis, 22 Desember 2011

4 Tanda Bahaya Besar Indonesia

Jogjakarta, 13/08/2011. Jika ada orang yang mengatakan Indonesia hari ini dalam keadaan baik-baik saja, maka ada dua kemungkinan yang terjadi pada orang itu. Pertama, orang itu tidak memahami apa yang sedang terjadi sebagai akibat dari kekurangan informasi atau ketumpulan mata hati. Kedua, orang itu sedang berbohong dengan menyebunyikan keadaan yang sesungguhnya. Caranya dengan mengatakan bahwa Indonesia dalam keadaan sehat dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5,6 % dan pengangguran semakin menurun. Faktanya Indonesia dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan dan dalam bahaya besar. Ketika berbicara di depan Pimpinan Aisyah Se-Jawa, di Jogjakarta Sabtu siang, Presiden IIBF, Ir.H.Heppy Trenggono, Mkom, mengungkapkan saat ini Indonesia dalam situasi yang sangat berbahaya sebagai sebuah bangsa. Menurut nya ada 4 tanda bahaya besar Indonesia saat ini.

Pertama, Meluasnya kemiskinan, pengangguran dan kehidupan yang mahal. Angka kemiskinan hari ini bisa naik atau turun tergantung siapa yang membuat dan menentukan indikatornya. Mengacu kepada angka yang dikeluarkan pemerintah, orang yang berpenghasilan Rp. 211.000/ bulan sudah tidak tergolong miskin lagi. Artinya orang yang pendapatan perharinya Rp. 7.000 sudah keluar dari sebutan orang miskin. Namun sesungguhnya kemiskinan hari ini tidak hanya ada pada anak-anak bangsa yang hidup di bawah kolong jembatan atau tempat kumuh lainnya, tetapi sudah merangsek ke institusi penyelenggara negara. Llistrik dan BBM menjadi sesuatu yang dilematis, dinaikkan salah tidak dinaikkan juga salah. Jika dinaikkan rakyat yang tidak bisa membayar dan jika tidak dinaikkan pemerintah tidak punya anggaran untuk subsidi. Otonomi kampus adalah bentuk lain dari ketiadaan anggaran untuk pendidikan. Sehingga perguruan tinggi dipaksa untuk mencari biaya sendiri dan yang paling gampang adalah dengan membebankan pada mahasiswa sehingga biaya pendidikan hampir mustahil bisa dijangkau oleh anak-anak petani, nelayan dan pedagang kecil. Angkatan bersenjata sulit untuk untuk pengadaan alutsista baru dan hanya mampu membeli alat bekas dari negara lain. Mengapa? Negara tidak memiliki dana cukup untuk membiayainya. Pengangguran tidak hanya menimpa masayarakat kelas bawah tetapi juga sudah menjangkau mereka yang berpendidikan tinggi dengan jumlah yang sangat fantastis. “Angka 40 juta jiwa yang menganggur hari ini artinya hampir dua kali lipat jumlah penduduk benua Australia. Dan ini adalah masalah besar jika terus dibiarkan tanpa ada jalan keluarnya,” kata Heppy. Heppy mengatakan sangat ironi ketika banyaknya anak-anak negeri ini ke luar negeri menjadi penghidupan sementara orang asing berbondong-bondong ke negeri ini mendapatkan keuntungan. “Ini pasti ada sesuatu yang salah dengan negeri kita ini,” kata Heppy. Di tengah kemiskinan dan pengangguran yang menimpa anak negeri ini, kehidupan sehari-hari menjadi sangat mahal. Masyarakat digiring menjadi sangat konsumtif dan hidup dalam gaya hidup yang sangat tinggi. “ Hari ini hampir tidak ada pabrik yang tumbuh, yang ada adalah mal-mal yang terus berdiri setiap hari,” ungkap Heppy. Harga barang-barang kebutuhan sangat tinggi karena harga dan pasar tidak dikendalikan. Bahkan Indonesia sudah tidak berkuasa lagi atas pasarnya sendiri.

Kedua, jatuhnya produktivitas bangsa. Pertumbuhan infra struktur seperti; jalan, pelabuhan, rel kereta api, industri dan lain-lain tidak menunjukkan angka yang berarti. Untuk melintasi pantai utara pulau Jawa kita masih menggunakan jalan yang dibuat Daendles dua abad yang lalu. Panjang rel kereta api dari hari ke hari makin menyusut. Pabrik-pabrik banyak yang mati dan sentra-sentra industri kini sudah banyak yang tutup. Untuk memenuhi kebutuhannya bangsa ini mengandalkan produk import dengan membuka pasarnya lebar-lebar melalui perjanjian pasar bebas. Yang diimport tidak hanya produk teknologi, tekstil, tetapi juga produk pertanian seperti garam, cabe, beras, daging ayam, sapi, jagung, bawang merah dan lain-lain. “Indonesia definitely telah menjadi bangsa konsumen,” ungkap Heppy. Dengan menempati ranking kedua sebagai bangsa terkonsumtif di dunia Indonesia menjadi negara konsumen sempurna. Karena ternyata Singapura yang menempatkan ranking pertama, 60% yang belanja ke sana adalah orang Indonesia. “Bagaimana kita akan membangun kesejahteraan jika kita sudah menjadi negara konsumen. Sebab kesejahteraan sebuah negara sampai hari ini masih diukur dari seberapa besar produk domestiknya bukan jumlah yang dikonsumsinya,” kata Heppy sedih. Indonesia yang sebelumnya sudah swasembada pangan hari sangat tinggi tingkat ketergantungannya. Sebelumnya sempat menjadi produsen pesawat hari telah menjadi pembeli pesawat terbesar.

Ketiga, meredupnya pembangunan karakter. Bangsa-bangsa besar yang ada di dalam sejarah dan hari ini adalah bangsa yang memiliki karakter unggul. Kejatuhan bangsa-bangsa itu selalu diawali dari karuntuhan karakternya. Di Indonesia hari ini, pembangunan karakter atau character building hanya sebatas seminar dan pelengkap pidato tetapi tidak di lapangan dan masyarakat. Meredupnya pembangunan karakter membuat bangsa ini lupa dengan jati dirinya, tidak memiliki keyakinan diri sebagai bangsa besar dan jaya seperti bangsa lain serta tidak memiliki nilai-nilai yang jelas untuk dibela. “Hampir semua komponen bangsa ini sudah tidak lagi membangun karakter tetapi terseret pada pembangunan brand atau citra,” jelas Heppy. Orang yang membangun brand, kata Heppy, didrive oleh target sementara membangun karakter didrive oleh purpose. Brand bahasanya promotion, karakter yang terjadi adalah conversation. Maka dalam brand adalah what He say dan dalam karakter what He do. Brand berorientasi pada transaksi sedangkan karakter berorientasi pada solusi. Heppy mnegeaskan, membangun karakter bangsa itu adalah tugas pokok seorang pemimpin. Masalahnya bagaimana mau membangun karakter jika pemimpinnya sendiri sibuk membangun brand atau mereknya sendiri. “Jika kita tidak dengan sadar membangun karakter unggul bangsa, maka dalam waktu yang sama secara tidak sadar pula kita membangun karakter buruk bangsa,” kata Heppy. Sejarah, menurut Heppy harus dilihat sebagai pelajaran untuk kita menata masa depan. Jangan sampai kita mengulang sejarah bangsa lain yang runtuh karena kemerosotan karakter bangsanya.

Keempat, kembalinya dominasi asing. “Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa besar dan jaya jika yang berkuasa di Indonesia bukan orang Indonesia sendiri,” ungkap Heppy. Dominasi asing telah membuat Indonesia terjajah selama 350 tahun. Padahal saat itu hanya ada satu bangsa kecil bernama Belanda yang memiliki sebuah perusahaan bernama VOC yang mencari bahan-bahan mentah untuk kepentingan industrinya. Satu perusahaan cukup membuat Indonesia terjajah, sementara hari ini ada ribuan VOC-VOC modern yang ada di Indonesia dengan kepentingan yang kurang lebih sama dengan VOC nya Belanda dulu. Bedanya, kata Heppy dulu mereka menjajah tanah air kita, hari inii mereka menguasai kehidupan. Banjirnya produk asing di pasar dalam negeri Indonesia adalah bentuk dominasi asing yang paling kentara. Akibatnya anak-anak negeri ini sulit berusaha di negeri sendiri karena kuatnya dominasi asing. Pengusaha, pedagang, nelayan dan petani kita dibiarkan bertarung sendiri dan kehidupannya tidak dibela oleh negara. Justru sebaliknya kebijakan-kebijakan yang ada lebih memihak asing daripada anak bangsa sendiri. Kasus import sapi, cabe, bawang, dan lain-lain, pembiaran terhadap kapal-kapal asing menjarah lautan Indonesia terjadi karena kita tidak tahu apa yang kita bela. Kuatnya dominasi asing saat ini membuat Indonesia kehilangan kedaulatan dari berbagai sisi. Bangsa ini sudah tidak kuasa menentukan nasibnya sendiri. (AA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar