Hong Kong - Satu lagi kisah WNI yang sukses mengadu nasib di Hong Kong. Sering didiskriminasi, Yohana Angelia berjualan kartu telepon beromset 2 juta dolar Hong Kong. Yohana menginjakkan kaki di Hong Kong untuk bekerja di Konsulat Jenderal RI pada pertengahan dekade 1980-an. Sambil bekerja di Konjen, Yohana mulai berjualan kartu telepon yang dijual ke pegawai Konjen. Pergaulannya dengan TKI, tanpa dia rencanakan menjadi awal dari lahirnya berbagai bisnis Yohana.
yohanaPada awalnya, Yohana sering melihat TKI yang sedang bermasalah mengadu ke Konjen, biasanya karena perlakuan majikan. "Saya sering lihat mereka menangis di depan Kantor Konjen. Saya kasihan terus saya ajak ngobrol. Saya tanya ada apa?" kata Yohana saat ditemui di tokonya di Causeway Bay Centre, Sugar Street, Hong Kong, Kamis (16/8/2007).
Ada satu pengalaman berkesan yang dialami Yohana, sehingga dia memahami perasaan TKI yang mengalami diskriminasi. Yohana pernah menolong staf Konjen yang hampir diserempet mobil. Saat beradu mulut dengan sang sopir, ponsel di tangannya terlempar ke pelipis si sopir. Sopir pun menuduh Yohana sengaja melukainya dan melaporkannya ke polisi. "Semalam di penjara, saya jadi mengerti rasanya direndahkan orang," kenangnya. Yohana pun akhirnya semakin bersahabat dengan para TKI. Di sisi lain, persahabatan ini membantu bisnisnya karena para TKI menjadi pelanggan kartu teleponnya. Yohana lalu membuka toko bernama Surya Ekspress yang berdekatan dengan Konjen.
Perempuan yang sering dipanggil Mbak Yo oleh para TKI ini terus melebarkan usahanya dengan berjualan baju, dan buku-buku agama. Ketertarikannya dengan agama Islam justru berawal dari buku-buku yang dia jual untuk para TKI. "Saya baca buku yang saya jual termasuk buku tentang Islam. Kok rasanya indah begitu. Lalu saya masuk Islam pada 1997," tutur Yohana yang kini tampak anggun berjilbab.
Yohana berhenti bisnis karena hamil pada 1998, lalu membuka toko baru di Causeway Bay Centre dengan nama Blitar Cafe. Usahanya dikembangkan dengan membuka karaoke pada 1998 dan warnet pada 2000. "Bukan artinya lancar-lancar saja. Saya berulang kali berurusan dengan polisi setiap menambah usaha baru. Alasannya selalu soal perizinan. Banyak juga yang berprasangka buruk dan mengatakan saya punya usaha dengan uang hasil korupsi di Konjen," keluh dia. Yohana keluar dari Konjen pada 2003 dan sejak saat itu menghabiskan waktu sepenuhnya untuk berbisnis dengan dukungan penuh suami dan anak-anaknya.
Keputusannya berjilbab pada bulan Ramadan 2006 lalu memberinya ujian tersendiri. Seringkali masyarakat Hong Kong menganggapnya seperti TKI dan mendiskriminasinya. "Saya pernah dilarang naik tram karena membawa belanjaan, padahal banyak orang lain yang juga membawa belanjaan. Saya juga pernah dibentak polisi karena dianggap mau merusak taman di Victoria Park, padahal saya tahu kok daerah mana yang tidak boleh diinjak," ungkapnya dengan gaya yang ceplas-ceplos. Namun semua itu terbayar dengan hasil jerih payahnya.
Setiap bulan, bisnis makanannya beromzet HK$ 30 ribu, omzet warnetnya HK$ 70 ribu. Yang paling dahsyat bisnis kartu teleponnya yang beromzet HK$ 2 juta. Yohana dengan rendah hati, enggan mengungkapkan berapa dolar yang dia kantongi setiap bulan. "Pokoknya cukup untuk menggaji pegawai dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya," ujarnya tersenyum. Untuk bisnis kartu teleponnya termasuk kartu ponsel, Yohana digandeng belasan operator yang mengincar pasar TKI. Yohana dianggap memahami pembeli bahkan diizinkan untuk mendesain kartu sendiri untuk menarik para TKI. Kartu-kartunya sering bertemakan rindu kampung halaman, kaligrafi, keindahan alam Indonesia, dan tema-tema religi.
"Resep saya adalah sabar. Jangan dengarkan omongan-omongan negatif orang. Tutup telinga dan maju terus," ujar dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar